Balongbesuk, Bapenda — Di tengah upaya pemerintah mendorong optimalisasi pendapatan asli daerah dari sektor pajak kendaraan, para kepala desa dari Kecamatan Diwek, Gudo, dan Jogoroto berkumpul di Aula Kantor Desa Balongbesuk, Rabu pagi (25/6), dalam sebuah forum sosialisasi yang berbeda dari biasanya: informatif, terbuka, dan penuh percakapan kritis.

Kegiatan Sosialisasi Pajak Daerah ini diselenggarakan oleh Bapenda Kabupaten Jombang, berkaloborasi dengan  Bapenda Provinsi Jawa Timur, Kepolisian, dan PT Jasa Raharja, sebagai bagian dari program edukasi publik yang menyasar langsung aparatur desa.

Sejak sesi pertama dimulai, narasumber dari UPT PPD Jombang langsung menekankan pentingnya Opsen Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) sebagai fondasi fiskal daerah. Dengan capaian realisasi lebih dari Rp41,5 miliar hingga Mei 2025, sektor ini menjadi salah satu sumber PAD yang paling dinamis di Kabupaten Jombang.

Kepala Jasa Raharja Kabupaten Jombang juga hadir untuk menjelaskan mekanisme klaim santunan kecelakaan lalu lintas, sementara pihak Kepolisian memberikan panduan administratif terkait balik nama kendaraan, pelaporan jual beli, serta pengurusan dokumen hilang.

Namun, yang membuat forum ini menarik adalah ketika sesi tanya jawab dibuka. Para kepala desa tak ragu menyuarakan pertanyaan yang mewakili denyut realita di lapangan.

Salah satu pertanyaan yang cukup menyita perhatian datang dari seorang kepala desa yang menanyakan apakah pengelolaan kerja sama pembayaran pajak bisa dilimpahkan dari BUMDes ke koperasi desa baru yang lebih aktif. Menurutnya, banyak BUMDes yang anggota pengurusnya pasif dan tidak operasional. “Tidak masalah,” jawab Kepala Bapenda Jombang, Hartono,S.Sos., M.M. “Jika koperasi tersebut sudah sah secara hukum, kerja sama bisa langsung dilakukan.”

Isu lain yang mengemuka adalah soal mekanisme pembagian hasil kerja sama, terutama antara BUMDes dan pihak terkait seperti Samsat atau Jasa Raharja. Para kepala desa berharap prosesnya bisa lebih sederhana dan transparan agar tidak menyulitkan desa dalam pelaporan. Narasumber menjelaskan bahwa secara teknis, pembagian hasil tetap mengacu pada regulasi, namun instansi terkait siap memberikan pendampingan teknis.

Topik bagi hasil retribusi juga memantik diskusi. “Bisa tidak pembagian hasil ke desa ditingkatkan jadi 20 sampai 30 persen?” tanya salah satu kepala desa. Namun Bapenda menjelaskan bahwa persentase pembagian hasil ditetapkan oleh regulasi tingkat atas dan tidak bisa diubah di tingkat kabupaten. Sebagai gantinya, diberikan insentif berbasis kinerja: desa yang melunasi pajaknya paling awal, misalnya pada bulan Januari, berhak atas reward khusus berupa 10% dari ketetapan PBB-P2 desa tersebut.

Diskusi pun semakin teknis. Bagaimana dengan proses balik nama BPKB dari luar provinsi? “Tetap bisa,” jawab Kepolisian, “selama identitas dan dokumen lengkap, meskipun pemilik sebelumnya tinggal di luar Jawa.”

Pertanyaan-pertanyaan praktis juga tak luput: Apakah pelaporan pajak harus oleh pemilik langsung? Tidak harus, jawab Samsat, cukup dengan surat bermaterai dari pemilik. Mengapa harus tes ulang saat memperpanjang SIM yang sudah mati? Itu adalah ketentuan nasional untuk menjamin kompetensi pengemudi.

Terakhir, muncul harapan dari desa agar ada aplikasi khusus untuk memantau warganya yang jatuh tempo pajak kendaraan. Samsat menjawab jujur, belum ada aplikasi semacam itu saat ini, tetapi pemilik kendaraan akan menerima SMS pemberitahuan langsung dari sistem, asalkan nomor mereka terdaftar.

Dengan suasana terbuka dan dialogis, forum ini menjadi lebih dari sekadar agenda sosialisasi dan ruang tukar pemikiran antara desa dan pembuat kebijakan, antara realitas dan regulasi.

Di luar aula, sosialisasi ini memberi kesan baru: bahwa perpajakan bukan sekadar kewajiban, melainkan sistem yang hidup—dan hanya bisa berfungsi ketika didukung pemahaman serta kerja sama dari semua pihak.